Adakah yang lebih bening dari suara hati, kala ia menegur kita tanpa suara. Adakah yang lebih jujur dari nurani, saat ia menyadarkan kita tanpa kata-kata. Adakah yang lebih tajam dari mata hati, ketika ia menghentak kita dari beragam kesalahan dan alpa.
Sebenarnya saat yang paling indah dari putaran kehidupan ini adalah saat kita mampu secara jujur dan tulus mendengar suara hati.
Sebab dari sanalah banyak tindakan dan perilaku kita menemukan arahnya yang benar.
Dari sana amal dan segala proses kehidupan kita memiliki pijakannya yang kokoh; niat dan orientasi yang lurus.
Hati adalah panglima.
Bila ia benar dan sehat, sehat pula seluruh aktivitas fisik pemiliknya. Begitu sebaliknya.
Di dalam hati kita, di dasar sanubari kita yang paling dalam, ia ada kekuatan yang sangat perkasa, sekaligus sumber perdamaian yang tiada tara.
Di sanalah bersemayam fitrah dan jati diri ketundukan kita –juga setiap manusia- kepada Allah swt.
Hasrat hidup bermakna (the will to meaning).
Seringkali suara hati nyaris tak terdengar, lantaran tersumbat daki-daki hawa nafsu. Atau terselimuti dosa-dosa dan kemaksiatan.
Allah tidak melihat tampilan lahiriah manusia, tetapi melihat isi hati mereka.
Maka mengotori hati dengan lumuran kedengkian dan kesombongan, sama artinya dengan memadamkan cahayanya, mengacaukan jernih suaranya, dan memandulkan ketajamannya.
Kebersihan hati tidak saja pelita di dunia, tetapi juga yang dapat mengantarkan kita menghadap Allah.
Saatnya kita sesering mungkin mendengarkan suara hati, dengan tulus, jujur, dan penuh kelapangan.
Suara hati kita, nurani kita, kata hati kita, adalah jati diri keaslian kita.
Akankah kita mengkhianatinya?
Tarbawi, 311001
Saya pinjem istilah Pak Waluyo mengenai 3H, yaitu Heart, Head and Hand.Segala sesuatu yang datang dari jiwa kita, kita percaya (heart), akan ditransfer dalam pemikiran kita dalam bentuk action plan (head), dan dilaksanakan dalam day to day activity kita (hand).
Kebaikan itu adalah sesuatu yang membuat jiwa dan hati tenang.
Untuk membedakan baik dan buruk, timbangannya ada pada suara hati, ada pada nurani.
Untuk dapat berprestasi atau memperoleh hasil yang baik tanpa membuat orang gundah orang lain, hendaknya membiasakan berfikir sebelum bertindak, dan hindari terlalu banyak bicara yang bisa menyebabkan pengotoran hati.
Suara hati sangatlah penting, karena sejatinya dialah yang paling jernih menentukan langkah yang benar atau yang salah.
Betapa seringnya waktu kita terkuras untuk memperhatikan dan menilai keburukan orang lain. Dan betapa seringnya hati kita mendidih dan begitu mual melihat orang yang kita anggap pendengki.
Namun apakah pernah kita luangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk berusaha dengan jujur dan sungguh-sungguh meneliti tingkat kedengkian diri kita sendiri, jangan-jangan kedengkian kita melebihi orang lain yang kita anggap pendengki.
Bila demikian kita termasuk orang yang malang yang akan terpuruk dalam hidup ini.
- Bagaimanakah perasaan kita ketika mendengar atau mendapat kenyataan ada seseorang mendapatkan keberhasilan, kesuksesan dan diperkirakan akan jauh lebih maju daripada kita?
- Apakah kita punya keberanian untuk mengakui kelebihan, prestasi, kemuliaan orang lain, lalu dilanjutkan dengan penghargaan, pujian yang tulus dan proporsional? Lantas, apakah hati kita merasakan syukur yang mendalam kepada Alloh SWT dengan kesuksesan saudara kita tersebut?
- Ataukah hati ini menolak dan berontak (tak rela) jika ada kelompok/ orang lain yang lebih maju, lebih berprestasi, dan lalu berkecenderungan untuk mementahkan prestasi orang lain tersebut dengan mencari-cari kelemahan dan kekurangannya? Lebih dari itu, berupaya menjatuhkan dengan aneka cara, seperti membeberkan kelemahan dan kekurangannya kepada orang lain dengan tujuan agar orang lain tak mengakui kesuksesannya tersebut, atau minimal berkurang kekaguman orang lain kepadanya? Dan apakah hati kita berbunga-bunga ketika melihat orang lain mulai terpengaruh dan membenarkan pendapat kita, tapi bereaksi menjadi dongkol dan meradang ketika ada yang bersimpati, membela dan mengakui kesuksesan tersebut?
- Apakah kita senang dengan tulus, meminta pendapat, nasihat dan mendoakan dengan tulus orang/ kelompok yang kita anggap sukses? Ataukah malah menutup diri, menjauhi, enggan bersilaturahim, bahkan bersikap apriori dan melarang kelompok serta kerabatnya untuk bersilaturahim ke "kelompok lain" tersebut?
- Apakah kita senang menempatkan diri kita untuk menyukseskan orang atau kelompok lain dengan tulus, sehingga begitu bahagianya diri kita andaikata tenaga, ilmu, buah pikir, pengalaman dan wawasan diri/ kelompok kita menjadi jalan kesuksesan bagi kelompok lain? Bahkan kebahagiaan bertambah ketika orang/ kelompok yang kita bantu begitu maju, melampaui apa yang dapat kita lakukan, bak besi beton yang menguatkan, mengokohkan, padahal dia tidak terlihat.
- Ataukah kita menjadi sangat ingin menonjolkan diri/ kelompok kita saja?Apakah kita senang dalam kesendirian, mendo'akan saudara kita yang lebih sukses, memohon kepada Alloh agar melindunginya bahkan berharap agar lebih berhasil lagi dalam perjuangannya? Lalu menyebarluaskan kebaikan ini kepada orang lain sehingga nama dan keberhasilannya semakin menyebar?
- Ataukah sebaliknya tak pernah teragendakan dalam do'a kita bahkan tak jarang setiap terlintas keberhasilannya, menggelora jua kedongkolan kita?Nah, saudara-saudaraku, bagaimana kita berharap umat ini maju, jika kita sendiri termasuk pendengki? Padahal, tak mungkin hanya kelompok kita saja yang bisa memajukan umat Islam, tanpa bersinergi dengan kelompok muslim lainnya.
Kita harus menyadari, justru dengan sinergi dan dengan segala potensi serta prestasi dari pelbagai elemen, kita akan jauh lebih cepat menikmati kesuksesan. Dan marilah kita awali dengan meneliti diri dan memberantas kedengkian yang membara pada diri kita sendiri terhadap saudara seiman.
Kita harus melatih diri sekuat tenaga untuk belajar menikmati dan mensyukuri kesuksesan saudara kita sebagai nikmat Alloh untuk kita semua. Dan menempatkan diri menjadi bagian kesuksesan orang/kelompok lainnya dengan tulus. (Aa Gym)
Sebagai orang yang berprestasi, sebaiknya kita menanamkan dalam diri kita sebuah keyakinan bahwa diri kita selalu memberi manfaat, memberikan keuntungan bagi orang lain.
Kata-kata yang kita ucapkan hendaknya bisa menjadi tambahan pengetahuan bagi orang lain, tidak berkata sia-sia, tidak menyakiti, bahkan selalu mendoakan orang lain.
Ide-ide kita mencerminkan kebeningan hati, keteraturan pola pikir, persaudaraan, penghargaan dan kepedulian.
Kita tidak menjadi orang yang berprestasi apabila hanya pandai sendiri. Kepandaian kita sebaiknya menjadi jalan hidayah bagi orang –orang disekitar kita. Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.
Satu musuh terlalu banyak, dan seribu saudara terlalu sedikit.